Focus and Productive - Ketika
seseorang jauh dari ketaatan namun selalu menuai kenikmatan, maka hati-hatilah
karena boleh jadi itu sebagai istidraj.
Istidraj adalah jebakan, sebab ia pada hakikatnya azab namun
berbalut keberuntungan dan nikmat.
Allah SWT berfirman dalam
surat Al-An’am ayat 44 :
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
“Tatkala mereka melupakan
peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua
pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan
apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan
sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am:
44)
Tafsir Ayat
Dalam tafsir Ibnu Katsir,
Allah membukakan bagi mereka semua pintu rezeki. Semua keinginan mereka
terpenuhi sebagai bentuk istidraj dari Allah. Rezeki itu bisa berupa harta yang
berlimpah ruah, anak yang banyak, peningkatan status dan jabatan, dan lain
sebagainya. Pada saat mereka lalai dan selalu merasa paling sukses sehingga
merendahkan orang lain, Allah menyiksanya hingga mereka terdiam putus asa.
Ibnu Katsir rahimahullah juga
mengutip hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :
Dari Ubah bin Amir radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dari Ubah bin Amir radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ تَعَالى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ
“Apabila Anda melihat Allah
memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih
bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah surat Al-An’am ayat 44 di atas. (H.R. Ahmad)
Menurut Syaikh Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin rahimahullah, sebenarnya Allah memberi kesempatan untuk
seorang yang zhalim sehingga tidak menyegerakan siksanya. (Syarh Riyadhus
Shalihin, 1/933-934)
Bahaya Istidraj
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah surat Al-An’am ayat 44 di atas. (H.R. Ahmad)
Dari kelanjutan penjelasan
beliau, istidraj ini sangatlah mengerikan. Bila seseorang disegerakan siksanya
dan menyadari kezhalimannya, itu tentu lebih baik. Tapi istidraj membuat
seseorang tidak menyadari bahwa karunia Allah itu hakikatnya adalah musibah.
Hingga ia terperdaya dengan
segala karunia itu, dan malah semakin menambah dosa dan kezhaliman. Ia tidak
menyadari Allah sedang menunda untuk menyiksanya. Hingga pada puncaknya, Allah
mengazabnya dengan sangat berat sesuai tumpukan dosanya.
Syaikh Ibnu Qayyim rahimahullah menjelaskan perbedaan antara nikmat dan fitnah. Nikmat yaitu kenikmatan yang Allah anugerahkan berupa kebaikan dan kasih-sayang-Nya, yang dengannya ia bisa meraih kebahagiaan abadi.
Syaikh Ibnu Qayyim rahimahullah menjelaskan perbedaan antara nikmat dan fitnah. Nikmat yaitu kenikmatan yang Allah anugerahkan berupa kebaikan dan kasih-sayang-Nya, yang dengannya ia bisa meraih kebahagiaan abadi.
Adapun fitnah (ujian) adalah
kenikmatan yang merupakan istidraj dari Allah. Betapa banyak orang yang
terfitnah dengan diberi kenikmatan, sedangkan ia tidak menyadari hal itu.
Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan kebutuhannya
yang selalu terpenuhi dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allah. (Madarijus
Salikjn, 1/189)
Cara Menghindari Istidraj
Begitupun nikmat yang
diperoleh orang kafir, hakikatnya kenikmatan itu adalah istidraj. Lantas
bagaimana dengan seorang mukmin, adakah upaya agar terhindar dari istidraj ?
Cara agar seorang mukmin terhindar dari istidraj adalah bijak menyikapi setiap apa yang menimpanya. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam Matan Qawa’idul Arba’ mengatakan: “Jika diberi kenikmatan maka ia bersyukur, jika ditimpa musibah ia bersabar dan jika melakukan dosa ia beristigfar (bertaubat). Tiga hal ini adalah tanda kebahagiaan.”
Cara agar seorang mukmin terhindar dari istidraj adalah bijak menyikapi setiap apa yang menimpanya. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam Matan Qawa’idul Arba’ mengatakan: “Jika diberi kenikmatan maka ia bersyukur, jika ditimpa musibah ia bersabar dan jika melakukan dosa ia beristigfar (bertaubat). Tiga hal ini adalah tanda kebahagiaan.”
Sudah semestinya kita
berbahagia dengan tiga kunci di atas yang bisa menjadi ikhtiar kita meraih
kasih sayangNya. Jangan sempai terlena dengan kenikmatan dunia yang semu. Maka
upayakanlah diri kita untuk selalu bersyukur, bersabar, dan beristighfar, sebab
kita hanya seorang hamba yang butuh dan mengharapkan kasih sayang dan maghfirah
Allah.
Semoga Allah menjauhkan kita
dari hukuman yang sangat mengerikan, saat kita merasa dibahagiakan dengan
nikmat, dan saat kita hakikatnya sedang dihukum sedangkan kita tidak menyadari
bahwa itu adalah hukuman.
0 Komentar