Focus and Productive - Popularitas, gelar, pangkat atau jabatan
terkadang membuat manusia lupa akan hakikatnya sebagai hamba yang harus
merendah. Mereka lupa bahwa kesemua hal tersebut hanya sekedar titipan
sementara yang dibebankan kepada manusia, yang apakah dengannya mampu menjadikan
seseorang bersyukur atau justru jatuh tersungkur dalam kubangan kesombongan ?
Islam tidak pernah melarang seseorang untuk
mencari bahkan mengejar popularitas, gelar, pangkat atau jabatan sekalipun,
selama bertujuan baik dan mampu mendekatkan diri kepada Allah. Namun apabila
hal tersebut menjadi beban yang berat dan justru membuat seseorang menjadi
angkuh dan jiwanya diperbudak oleh ego, maka penyesalan yang akan didapatkan.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan :
ويل لمن كان هواه أميرا وعقله أسيرا
“Sungguh celaka bagi seseorang yang menjadikan ego dan hawa nafsunya sebagai raja (dikendalikan oleh ego) sedangkan akalnya hanya terkekang, terpenjara.”
Imam Nawawi al-Bantani menjelaskan dalam karyanya Nashaih al-Ibad bahwa maksud dari perkataan Ibnu Hajar di atas adalah seseorang akan celaka jika membiarkan ego dan hawa nafsu menguasai dirinya, sedangkan akalnya tidak lagi berfungsi untuk bertafakkur kepada Allah karen lebih mengutamakan kehendak hawa nafsu.
Pada zaman terdahulu, terdapat seorang khalifah yang menganggap bahwa gelar “Amirul Mukminin” sebagai sesuatu yang prestisius hingga lupa dengan hakikat dirinya sebagai hamba Allah swt. Tanpa sadar, sang khalifah menjadikan kedudukan, pangkat dan popularitasnya sebagai “tuan” hingga dia terjebak dalam dekapan hawa nafsu dan ego.
Berikut cerita selengkapnya yang dikutip dari
kitab “Kaifa Tahfadz Al-Qur’an” karya Mustafa Murad.
Suatu ketika, seorang ulama datang ke istana Khalifah Makmun. Ulama tersebut dengan berani memanggil sang Khalifah dengan sebutan “Abdullah” (hamba Allah) dan memberikan nasehat singkat, “Wahai hamba Allah, bertakwalah kepada Allah Swt.”
Sang khalifah merasa tersinggung dengan
perkataan ulama tersebut, ia mendengar sebuah panggilan yang terasa asing di
telinganya. Amir Mukminin adalah gelar yang sangat prestisius dan membanggakan.
Semua orang memanggilnya dengan gelar tersebut, namun sang ulama hanya
memanggilnya dengan sebutan “Abdullah”.
Atas ucapan tersebut, sang khalifah
memerintahkan pengawalnya untuk meringkus sang ulama dan menahannya, “Tangkap dan tahan dia!”
Setelah penangkapan, khalifah merasa penasaran dan ingin tahu alasan disebalik panggilan “Abdullah” yang dilontarkan sang ulama.
Pada malam hari, khalifah Makmun bersama para
eksekutor memanggil sang ulama. Dia menanyakan perihal ucapan yang terasa aneh
dan asing. “Kenapa kau memanggilku dengan sebutan
Abdullah (hamba Allah)? Apakah kau ingin menunjukkan identitasmu kepada warga
Baghdad dan di hadapan Amir mukminin? Alangkah baiknya jika kau memanggilku
dengan sebutan Amir mukminin.”
Sang Khalifah melanjutkan perkataannya, “Aku ingin mendengar jawabanmu, Jika benar maka kau akan selamat, tapi jika tidak, maka aku akan membunuhmu.”
Sang ulama menjawab, “Ketika kita mendapatkan
beban yang berat, kita menyebut dan mengucapkan lafadz , “Allah…Allah…Allah”. Apakah Anda merasa
lebih besar dari Allah?”
Sang Khalifah menjawab, “Allah Mahabesar, Allah Mahabesar”.
Sang ulama menimpali ucapan sang khalifah dengan
membaca ayat :
لَنْ يَسْتَنْكِفَ
الْمَسِيحُ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا لِلَّهِ وَلَا الْمَلَائِكَةُ الْمُقَرَّبُونَ
“Isa Almasih sama sekali tidak enggan menjadi hamba Allah (Abdullah) dan begitu juga para malaikat yang dekat (dengan Allah Swt).”
“Apakah Anda merasa lebih mulia dari Nabi Isa dan Malaikat (sedangkan mereka semua bersedia menjadi Abdullah)?”
Tetiba sang khalifah menangis tersedu-sedu,
hingga hampir pingsan.
Dari kisah ini, kita mendapatkan pembelajaran
bahwa popularitas, gelar,
pangkat ataupun jabatan bukanlah hal yang besar, namun hanya setitik debu jika
dibandingkan dengan Kebesaran dan Keagungan Allah. Siapapun kita, bagaimanapun
keadaan kita, tetap hanya sebatas hamba Allah yang kerdil, tak mampu berdiri
sendiri tanpa bantuan dari Allah, Sang Rabbull Izzah.
Adapun rasa sombong, sungguh tidak pantas disandang oleh seorang yang masih menangis, mengeluh dan tak berdaya apabila mendapatkan beban. Rasa sombong hanya pantas dimiliki oleh Dia Yang Mampu Memberikan beban sekaligus Mampu Menghilangkan beban tersebut.
0 Komentar